Artikel tentang terigu impor, bagi para penggemar kuliner (terutama cake & bakery atau sejenisnya), disadur juga dari halalguide
May 13th, 2009
Belum banyak masyarakat yang tahu bahwa tepung terigu yang beredar di pasaran, terutama pasar tradisional tidak semuanya buatan lokal. Meski Indonesia merupakan negara pengekspor terigu terbesar di Asia Tenggara, kenyataannya juga menerima impor atau kiriman terigu dari negara lain seperti Cina. Malah, dari tahun ke tahun terigu impor yang masuk ke pasaran Indonesia semakin meningkat tajam.
Dilihat dari bahan baku utamanya, yakni gandum, jelas terigu adalah bahan makanan yang tidak bermasalah. Persoalan muncul ketika terigu ditambahkan dengan zat-zat tambahan tertentu yang tidak boleh dikonsumsi kaum muslim, orang yang berpantangan memakan daging babi dan bagian tubuh manusia, atau pantang memakan hewan, seperti kaum vegetarian.
Rambut Manusia
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI) mengungkapkan terigu asal Cina ternyata mengandung L-sistein. Zat ini berfungsi sebagai improving agent yang dapat meningkatkan sifat-sifat tepung terigu yang diinginkan dalam pembuatan kue. Sistein dapat melembutkan protein utama gandum sehingga adonan kue atau roti menjadi lembut. Selain itu juga membuat adonan mengembang lebih besar. Menurut Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra, Ketua LP POM MUI, L-sistein dalam terigu impor ini dibuat dari rambut manusia. “Sesuatu yang berasal dari manusia yang dicampurkan ke dalam makanan, haram hukumnya bagi umat Islam,” kata Aisjah yang juga Guru Besar Biokimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.
Masalah halal- haram tepung terigu tidak terletak pada L-sistein saja. Ada produk tepung terigu yang ditambah dengan vitamin dan mineral untuk meningkatkan nilai gizinya. Ada sejumlah vitamin yang hanya dapat larut dalam lemak dan mudah rusak dalam penyimpanan. Contohnya vitamin A. Agar mudah larut dalam pangan berair dan tak cepat rusak, vitamin A perlu disalut dengan bahan penstabil. Yang sering digunakan sebagai penstabil adalah gelatin. Tidak semua gelatin halal. Bila berasal dari lemak tumbuhan-tumbuhan, tidak akan jadi masalah. Yang perlu dicurigai adalah gelatin yang terbuat dari lemak hewani, karena kebanyakan bahan bakunya berasal dari lemak babi.
Jika pembahasan tepung terigu dilanjutkan sampai pada proses pembuatan roti atau kue, akan ditemukan banyak unsur bahan tambahan pangan yang mengundang kekhawatiran umat Islam. Berikut contoh bahan pengaya tepung terigu yang kerap dipakai untuk membuat roti atau kue.
Bahan Pengembang
Diperlukan untuk mengembangkan adonan dan membesarkan volume kue. Jenis yang sering digunakan adalah baking soda. Dibuat secara sintetis dari bahan kimia bernama sodium bikarbonat dan statusnya halal. Jenis pengembang lain disebut baking powder, merupakan campuran baking soda dengan asam pengembang. Nah, asam pengembang ini mengandung unsure cream of tartar. Gunanya mengatur rasa dan mengeluarkan karbon dioksida dari dalam adonan agar dihasilkan volume roti yang baik. Sayangnya kehalalan cream of tartar dipertanyakan karena terbuat dari hasil sampingan industri minuman beralkohol yang kemudian direaksikan dengan garam potasium.
Mentega Putih
Disebut juga shorthening, berfungsi untuk menjadikan produk kue bertekstur lembut dan renyah. Biasa digunakan dalam pembuatan pastry dan roti manis. Mentega putih terbuat dari lemak tumbuhan atau hewan, bahkan adakalanya campuran dari lemak hewani dan nabati. Bila mengandung unsur lemak hewani, status kehalalannya perlu dipertanyakan karena bisa jadi bersumber dari lemak babi.
Margarine
Awalnya margarine dibuat untuk menggantikan fungsi mentega. Margarine terbuat dari lemak nabat. Yang perlu dicermati adalah bahan tambahan penyertanya seperti, flavor, emulsifier dan pewarna yang seringkali diragukan kehalalannya.
Cocoa Powder
Pada dasarnya cocoa powder atau bubuk coklat tidak bermasalah dari segi kehalalan. Karena bahan baku utamanya adalah buah cacao yang diekstrak. Namun bubuk coklat yang sekarang ini beredar di pasaran ada yang ditambahkan dengan flavor coklat untuk memberikan rasa yang lebih tegas. Di sinilah letak kritis keharamannya, karena tidak sedikit bahan flavor mengandung unsur yang tidak halal.
Fakta Di balik Harga Murah
Bila Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam masih membiarkan diri terus-terusan ‘kecolongan’ banjir suplai terigu yang mengandung L-sistein berbahan baku unsur rambut manusia, Pemerintah Korea Selatan yang tidak mengenal konsep halal-haram justru melarang keras produk ini beredar di negaranya. Dasar pemikirannya adalah tinjauan kesehatan.
Bahwa memasukkan unsur organ tubuh manusia ke dalam bahan makanan merupakan tindakan kanibalisme yang dapat mendatangkan efek negatif bagi kesehatan manusia di belakang hari. Sebagai penganti L-sistein, digunakanlah improving agent yang terbuat dari unsur buah-buahan.
Kasus L-sistein pada terigu ini mengundang pertanyaan besar. Kalau ada bahan tambahan makanan yang aman dan dapat diterima masyarakat luas, mengapa produsen memilih bahan baku ‘kontroversi’ yang mendatangkan keresahan bagi konsumennya? Tidak bisa dipungkiri, ini adalah salah satu dampak lain dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan penerapan biotechnology (teknobiologi) dalam industri pangan.
Kemajuan ini memungkinkan para produsen mempunyai pilihan. Sebagai pihak yang selalu berpikir profit oriented, tentu yang dicari adalah bahan-bahan pendukung terwujudnya produktivitas dan kualitas produk yang tinggi dengan biaya produksi serendah mungkin, dengan harapan produk dapat dipasarkan dengan harga bersaing dan laba yang dapat didulang pun lebih banyak. Kenyataannya, di pasaran tepung terigu yang mengandung L-sistein rambut manusia dijual dengan harga lebih murah dari pada terigu buatan lokal yang terjamin kehalalannya.
Niat Baik Produsen
Semestinya masalah ini tidak bisa dipandang remeh sebagai suatu kealpaan belaka. Prof. FG Winarno, MSc, founder dan chairman PT M.Brio Food Tecnology Laboratory dan juga dosen pada Fakultas Teknobiologi Unika Atmajaya Jakarta mengatakan seharusnya jika suatu produk diarahkan pada pasar mayoritas muslim, seharusnya hal-hal ini sudah diperhatikan dan diantisipaisi sebelumnya.
Karena itu, Aisjah mengatakan cap label ‘halal’ dari MUI pada kemasan produk menjadi indikator yang sangat penting dalam memilih dan membeli produk bahan pangan. “Ini terkait dengan itikad baik produsen. Dalam membuat dan memasarkan produk ada etikanya. Dan mesti para produsen mematuhi itu,” kata Aisjah Girindra menguatkan.
Bagaimanapun, kita perlu mengakui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan banyak manfaat dan kemudahan bagi umat manusia. Namun, kita tetap perlu semakin teliti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar